Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik menyatakan titik temu dalam negosiasi antara karyawan dan manajemen PT Freeport Indonesia sudah kian dekat. Pasalnya selisih besaran gaji pokok yang diusulkan versi kedua belah pihak makin kecil. Sejak kasus ini mencuat pada 29 Juli lalu karyawan dan manajemen Freeport yang dimediasi oleh pemerintah--Kementerian Energi dan Kementerian Tenaga Kerja--dalam perkembangannya terus mengajukan revisi penawaran kenaikan gaji.
Jika di awal karyawan meminta gaji naik menjadi US$ 35 per jam, pada 7 November hingga kini tuntutan turun menjadi US$ 4 per jam. Adapun manajemen menawarkan kenaikan gaji dari semula US$ 2,1 per jam menjadi US$ 3,09 per jam. "Jadi sekarang sudah mulai dekat. Tinggal pendekatan koma," kata Jero dalam konferensi pers, Rabu, 16 November 2011.
Jero mengungkapkan baru kali ini memberi keterangan pers tentang kemajuan negosiasi kedua pihak karena Kementerian sebelumnya tengah bekerja keras untuk mediasi pihak-pihak terkait. "Karena sudah mulai jelas," katanya.
Secara umum ia menilai tuntutan kenaikan gaji di sebuah industri sangat lumrah. Namun tuntutan kenaikan gaji yang diminta karyawan Freeport dari semula US$ 2,1 menjadi US$ 35 per jam dianggap terlalu tinggi. "Karena itu ESDM mendekati keduanya," ucap dia.
Jero juga menilai kenaikan gaji yang diusulkan manajemen sudah cukup baik karena meski karyawan terlihat bergaji kecil, mereka mendapat berbagai insentif seperti bantuan rumah, transportasi, pendidikan anak, dan lembur.
Jero mengungkapkan saat ini akibat kisruh karyawan dan manajemen produksi tambang Freeport anjlok hingga menjadi hanya 5 persen. "Potensi kehilangan revenue US$ 8 juta per hari," ucapnya.
Terkait dengan renegosiasi kontrak Freeport, ia mengungkapkan pemerintah belum akan membahasnya. "Tunggu dulu sampai tenang suasananya." Sebab, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah berpesan agar renegosiasi kontrak dilakukan secara hati-hati dan bisa membawa keuntungan bagi semua pihak. Jero pun menyatakan bahwa kontrak yang sudah berusia 30-40 tahun memang layak direnegosiasikan.
referensi: Tempo,16 November 2011